Ilustrasi |
Hahaha….!
Suasana hening yang khusyuk mendadak rusak oleh tawa Tsalji
yang meledak seorang diri di sisi belakang shaff santri perempuan. Seketika
seluruh santri laki-laki dan perempuan berpaling kepadanya. Namun Tsalji tetap tertawa
terbahak.
Ctarr!
Suara menggelegar tiba-tiba lebiuh mengejutkan ke-50 santri
itu. Seketika semuanya kembali ke sikap semula, duduk diam khusyuk pandangan ke
depan. Suara yang bersumber dari rotan yang dipukulkan ke papan tulis itu juga
menghentikan tawa Tsalji, tapi tidak benar-benar berhenti. Tawa itu dikurung di
dalam mulut sehingga yang terdengar suara cekikikan.
"Tsalji!" sebut lelaki paruh baya di depan sana
dengan keras.
Lelaki bergamis hitam yang memegang sebatang rotan yang baru
saja ia pukulkan ke papan tulis. Lelaki berkulit hitam itu memeiliki wajah tua
yang sangar. Sorot tajam matanya ditunjang oleh bekas luka besar yang bergaris
dalam di bawah mata kiri. Sorban abu-abunya serasi dengan warna jenggot
putihnya yang bercorak mengembang. Lelaki ini dikenal dengan nama "Jenggot
Perak".
Tsalji mendongak kepada Jenggot Perak dengan wajah
benar-benar menahan tawa. Gadis cilik berkerudung biru itu bertanya dengan
wajahnya yang putih bersih seolah tanpa dosa.
"Tidak sopan anak perempuan tertawa besar seperti
itu!" bentak Jenggot Perak. Matanya benar-benar mendelik. "Kenapa
tertawa?"
"Hahaha…!" Tsalji melepas tawanya yang tertahan. Ia
berusaha berhenti tertawa. "Mei Me, Guru!"
Tsalji menunjuk santri perempuan yang duduk di sebelahnya. Santri
bermata sipit itu hanya diam, tak berani bersikap macam-macam.
"Kenapa?!" Jenggot Perak masih membentak marah.
"Kentut seperti tikus kaget keselek!" jawab Tsalji.
"Hahaha…!"
Ctarr!
Kembali suara rotan menbghentikan kekisruhan. Jenggot Perak
memang sangat ditakuti oleh seluruh santri, kecuali satu santri, yaitu Tsalji.
“Tsalji! Maju!” perintah Jenggot
Perak.
Anak berusia 10 tahun itu pun
berdiri dan berjalan ke depan kelas. Raut tawanya sudah hilang. Tsalji sudah
tahu, ia pasti dihukum. Hukuman bagi Tsa;ji bukanlah hal baru. Santri yang
paling banyak mengoleksi hukuman adalah dirinya.
“Baca juz satu!” perintah Jenggot
Perak.
Tanpa diarahkan, Tsalji berjalan
ke sudut ruangan. Di sana ada sebuah tiang kayu setinggi lutut orang dewasa.
Tsalji naik ke tiang lalu berdiri satu kaki.
“A’udzubillahi...!” Tsalji mulai
membaca tanpa teks.
“Wa’alaikum salam
warohmatullahi!” jawab Jenggot Perak setelah melihat siapa yang datang.
“Srikandar sudah kembali dan
orang-orang tua sudah berkumpul di rumahnya!” kata lelaki berhidung mancung
yang bernama Badas, tampak di sabuk kulit merahnya tergantung pedang besar.
Tsalji yang sedang menghapal
seketika berhenti, menatap serius kepada kedua orang tua itu.
“Anak-anak, pelajaran hari ini
cukup. Baca doa!” kata Jenggot Perak tanpa berpikir panjang.
“Ayah pulang!” pekik Tsalji
girang lalu bersalto turun dan berlari keluar menerabas posisi Badas.
Jenggot Perak dan Badas hanya
geleng-geleng kepala. Ada pun santri yang lain membaca surat Al-‘Ashr sebagai
doa penutup kelas. Usai itu, Jenggot Perak memulangkan seluruh santrinya yang
kemudian satu persatu mencium tangan kasar guru mereka dan Badas.
Sebubarnya anak-anak, Jenggot
Perak bergegas keluar dan bersama Badas melangkah cepat menyusuri jalan yang
berbata rapih.
(Bersambung....)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar