Sabtu, 23 Februari 2013

MENGAIS BARA SI ANAK SALJU (MENIUP BARA DI UJUNG TOBAT) Bag. 1

Ilustrasi
Novel : Penari Salju


Hahaha….!

Suasana hening yang khusyuk mendadak rusak oleh tawa Tsalji yang meledak seorang diri di sisi belakang shaff santri perempuan. Seketika seluruh santri laki-laki dan perempuan berpaling kepadanya. Namun Tsalji tetap tertawa terbahak.


Ctarr!

Suara menggelegar tiba-tiba lebiuh mengejutkan ke-50 santri itu. Seketika semuanya kembali ke sikap semula, duduk diam khusyuk pandangan ke depan. Suara yang bersumber dari rotan yang dipukulkan ke papan tulis itu juga menghentikan tawa Tsalji, tapi tidak benar-benar berhenti. Tawa itu dikurung di dalam mulut sehingga yang terdengar suara cekikikan.

"Tsalji!" sebut lelaki paruh baya di depan sana dengan keras.

Lelaki bergamis hitam yang memegang sebatang rotan yang baru saja ia pukulkan ke papan tulis. Lelaki berkulit hitam itu memeiliki wajah tua yang sangar. Sorot tajam matanya ditunjang oleh bekas luka besar yang bergaris dalam di bawah mata kiri. Sorban abu-abunya serasi dengan warna jenggot putihnya yang bercorak mengembang. Lelaki ini dikenal dengan nama "Jenggot Perak".

Tsalji mendongak kepada Jenggot Perak dengan wajah benar-benar menahan tawa. Gadis cilik berkerudung biru itu bertanya dengan wajahnya yang putih bersih seolah tanpa dosa.



"Tidak sopan anak perempuan tertawa besar seperti itu!" bentak Jenggot Perak. Matanya benar-benar mendelik. "Kenapa tertawa?"

"Hahaha…!" Tsalji melepas tawanya yang tertahan. Ia berusaha berhenti tertawa. "Mei Me, Guru!"

Tsalji menunjuk santri perempuan yang duduk di sebelahnya. Santri bermata sipit itu hanya diam, tak berani bersikap macam-macam.

"Kenapa?!" Jenggot Perak masih membentak marah.

"Kentut seperti tikus kaget keselek!" jawab Tsalji.

"Hahaha…!"

Sontak tawa seluruh santri pecah. Tsalji pun kian tertawa keras juga. Tapi Mei Me hanya diam, dongkol merengut.

Ctarr!

Kembali suara rotan menbghentikan kekisruhan. Jenggot Perak memang sangat ditakuti oleh seluruh santri, kecuali satu santri, yaitu Tsalji.

“Tsalji! Maju!” perintah Jenggot Perak.

Anak berusia 10 tahun itu pun berdiri dan berjalan ke depan kelas. Raut tawanya sudah hilang. Tsalji sudah tahu, ia pasti dihukum. Hukuman bagi Tsa;ji bukanlah hal baru. Santri yang paling banyak mengoleksi hukuman adalah dirinya.

“Baca juz satu!” perintah Jenggot Perak.

Tanpa diarahkan, Tsalji berjalan ke sudut ruangan. Di sana ada sebuah tiang kayu setinggi lutut orang dewasa. Tsalji naik ke tiang lalu berdiri satu kaki.

“A’udzubillahi...!” Tsalji mulai membaca tanpa teks.

“Assalamu ‘alaikum!” salam seorang lelaki separuh baya di ambang pintu, lelaki berhidung mancung yang lebih muda dari Jenggot Perak.

“Wa’alaikum salam warohmatullahi!” jawab Jenggot Perak setelah melihat siapa yang datang.

“Srikandar sudah kembali dan orang-orang tua sudah berkumpul di rumahnya!” kata lelaki berhidung mancung yang bernama Badas, tampak di sabuk kulit merahnya tergantung pedang besar.

Tsalji yang sedang menghapal seketika berhenti, menatap serius kepada kedua orang tua itu.

“Anak-anak, pelajaran hari ini cukup. Baca doa!” kata Jenggot Perak tanpa berpikir panjang.

“Ayah pulang!” pekik Tsalji girang lalu bersalto turun dan berlari keluar menerabas posisi Badas.

Jenggot Perak dan Badas hanya geleng-geleng kepala. Ada pun santri yang lain membaca surat Al-‘Ashr sebagai doa penutup kelas. Usai itu, Jenggot Perak memulangkan seluruh santrinya yang kemudian satu persatu mencium tangan kasar guru mereka dan Badas.

Sebubarnya anak-anak, Jenggot Perak bergegas keluar dan bersama Badas melangkah cepat menyusuri jalan yang berbata rapih. 

(Bersambung....)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar